|*|.:.:::::... WELCOME TO MY WORLD "The Art of International Relations" ANYTHING IS POSSIBLE TO HOLD... Thank for Your Visiting ...:::::.:.:.|*|
.

breaking news:

attentions!

Recommended to open this blog by using Mozilla Firefox for the best looking... Check it out... Don't have Mozilla Firefox? Download it now... + Adobe Flash Player 10

Blog Archives

December 4, 2008

Print this ArticlePrint this Article

By: Baiq Wardhani

Di tengah berlangsungnya pertemuan puncak 8 negara industri maju (G-8 summit) di Gleneagles Hotel, Perthshire (Skotlandia), dunia kembali dikejutkan dengan meledaknya bom di enam tempat yang berbeda di London yang menewaskan sedikitnya 52 orang dan ratusan korban lainnya terluka. Peristiwa ini oleh banyak orang, termasuk yang diperkirakan oleh PM Inggris, Tony Blair dan Presiden AS George Bush, merupakan serangkaian kejadian terror yang dilakukan oleh kelompok Al-Qaeda. Mungkinkah aksi tersebut dilakukan oleh IRA (Irish Republican Army) yang menuntut kemerdekaan dari Inggris yang dalam praktek-prakteknya menggunakan terorisme sebagai cara mengubah pendirian pemerintah Inggris?

Secara teori, IRA sudah dinyatakan tak aktif lagi oleh pemerintah Inggris, setidaknya mulai tahun 2000. Dengan dinon-akifkan statusnya sebagai teroris, apakah dengan demikian IRA tidak lagi diperhitungkan sebagai salah satu pelaku pemboman di London? Sejauh ini belum ada konfirmasi mengenai siapa sebenarnya pelaku tindakan barbar itu. Namun dengan rentetan kejadian semenjak peristiwa kelabu 9 September 2001, opini publik seolah-olah digiring untuk menuding Al-Qaedah sebagai pelakunya.

Organisasi-organisasi terorisme telah menjadi salah satu aktor rational dan internasional yang pengaruhnya sangat besar saat ini. Kelompok ini membangun strategi tertentu untuk mencapai tujuannya dengan menggunakan kekerasan (violence). Terorisme, terutama semenjak perisitwa 9/11 seperti menjadi kata kunci untuk memahami keamanan dan perdamaian dunia. Terorisme yang dikendalikan oleh fanatisme agama saat ini merupakan salah ancaman politik terbesar disamping ancaman-ancaman keamanan yang lain seperti kelaparan dan kemiskinan, AIDS dan pemanasan global.

Globalisasi

Secara umum globalisasi menggambarkan proses perubahan pada masyarakat dan ekonomi dunia akibat meningkatnya arus perdagangan dan perubahan kultural secara dramatis. Menurut Thomas Friedman (2002), globalisasi didefinisikan sebagai :

the integration of markets, finance, and technology in a way that shrinks the world from a size medium to a size small. Globalization enables each of us, wherever we live, to reach around the world farther, faster, deeper, and cheaper than ever before and at the same time allows the world to reach into each of us farther, faster, deeper, and cheaper than ever before.

Para penganut teori globalisasi percaya bahwa globalisasi membawa dampak kemakmuran bagi banyak masyarakat dunia karena barang dan jasa dengan lebih mudah mengalir ke luar dan masuk ke suatu negara. Para penganjur teori itu juga meyakini bahwa integrasi ekonomi akan membawa dunia pada perdamaian dengan melalui spill over yang mengarah pada pembentukan integrasi politik.

Di bidang ekonomi, globalisasi justru membawa dampak pada meluasnya kesejangan ekonomi antara negara kaya dengan negara miskin. Tidak mengherankan jika globalisasi sering diibaratkan sebagai pedang bermata dua: membawa kemakmuran sekaligus kemiskinan. Akibat derasnya arus globalisasi, kini banyak muncul organisasi-organisasi anti-globalisasi yang bertujuan menghentikan, memperlambat atau merombak globalisasi semacam Anti-Capitalist Protest, CorpWatch dan Anti-Thomas Friedman (Friedman dianggap sebagai pendukung utama serangan Presiden Bush ke Iraq dengan teori globalisasinya).

Dalam konteks terorisme sebagai fenomena dewasa ini, globalisasi seringkali dituduh sebagai penyebab terorisme. Mengapa para teroris anti globalisasi? Menurut mereka, sejalan dengan pandangan kaum anti-globalist lainnya, globalisasi merupakan bentuk imperialisme baru yang menjadi penyebab kemiskinan, pengangguran, diskriminasi, ketertindasan, alienasi, dan segala bentuk ketidakberdayaan kelompok lemah akibat terkonsentrasinya power pada segelintir manusia kuat.

Sekalipun globalisasi telah membawa kemakmuran pada sebagian orang, di belahan dunia yang lain globalisasi justru menampakkan sisi gelapnya, antara lain dengan beberapa fakta berikut: lebih dari setengah dari populasi dunia (sekitar 3 milyar manusia) masih hidup di bawah garis kemiskinan dan berpenghasilan hanya sekitar 2 dollar AS sehari; GDP 48 negara termiskin masih jauh di bawah kekayaan gabungan tiga negara terkaya di dunia; jumlah uang yang dihabiskan negara kaya untuk memproduksi senjata (yang kemudian dibeli oleh negara miskin) jauh lebih banyak daripada jumlah yang dikeluarkan untuk biaya pendidikan dasar; sekitar 850 juta manusia di dunia masih terjangkit wabah kelaparan; lebih dari semilyar anak-anak di dunai masih hidup dalam kesengsaraan: sekitar 640 juta tidak memiliki tempat tinggal, 400 juta tidak memiliki akses menikmati air bersih, 270 juta tidak menikmati akses kesehatan, 10,6 juta meninggal pada usia balita; menyebarnya AIDS dengan cepat di berbagai belahan dunia, terutama di Afrika menambah kesulitan hidup si miskin. (Kamran Mofi, 2005) Globalisasi ternyata tidak memenuhi janjinya untuk memberikan perbaikan hidup untik sebagian besar penduduk dunia.

KTT G-8

Jika teror di London itu dilakukan oleh kelompok fundamentalis agama hal tersebut sangat mungkin berkaitan dengan berlangsungnya KTT negara-negara kaya yang dituduh sebagai penyebab porak porandanya ekonomi dunia. Maka tidak heran ketika para pemimpin negara-negara makmur tersebut bersidang untuk membicarakan nasib masyarakat miskin di Afrika dan dampak industrialisasi bagi kerusakan lingkungan, kelompok teroris pun melakukan counter action. Peledakan bom adalah pesan yang mereka sampaikan untuk menyatakan ketidakpercayaan mereka pada G8. Kalaupun benar para pemimpin G8 membicarakan nasib kelompok tertekan dan bermaksud menolong mereka, bantuan yang akan dialirkan sangatlah tidak sebanding dengan apa yang mereka peroleh dari negara-negara miskin.

Negara-negara G-8 merupakan kelompok yang paling ambisius mencanangkan perang melawan terorisme. Fakta yang menatik, bahwa perang melawan terorisme pada dasarnya dalah perang melawan globalisasi. Dengan kata lain, terorisme adalah cara untuk menghentikan globalisasi. Sementara kelompok G-8 bermaksud membantu menyelesaikan kemiskinan di Afrika, kelompok anti globalisasi, termasuk kelompok teroris, melihat kenyataan bahwa perang di ujung dunia yang lain masih terus berlangsung. Globalisasi, dengan demikian, berjalan bergandengan tangan dengan militerisasi. Globalisasi telah menciptakan keresahan, ketidakamanan dan meningkatkanya konflik dan menyulut ke arah perang yang mendorong tumbuh suburnya industri militer dan persenjataan mutakhir.

Mungkin benar bahwa terorisme tidak mungkin diatasi dalam waktu sekejap dan karenanya perlu kesabaran, waktu dan dana yang tidak sedikit. Namun yang menjadi masalah selama ini adalah ketidakmampuan para pengambil keputusan untuk melihat masalah terorisme dari perspektif komprehensif. Ibarat mengobati penyakit, terorisme hanya diobati gejalanya saja tanpa diatasi akar masalahnya.. Namun setidaknya bisa ditemukan cara untuk mengurangi ketidakpuasan akibat ketidakadilan tersebut, bahwa globalisasi mesti juga harus mengindahkan etika dan keadilan.

Print this ArticlePrint this Article

By: Baiq Wardhani


...Paper presented for Seminar on “Building National Character,” at Universitas Kanjuruhan, Malang, 16th June 2007...

Tolok ukur penting dalam menilai keberhasilan pembangunan sebuah negara dapat dilihat dari keberhasilan bangsa tersebut memajukan pendidikan nasional, yang diartikan sebagai pembiasaan, pembelajaran, peneladanan, bukan sekedar penyekolahan (schooling) (Hassan, 2004: 52). Sementara itu, dalam peradaban mana pun membangun karakter nasional merupakan bagian tak terpisahkan dari tujuan pembangunan nasional secara umum dan pembangunan bidang pendidikan pada khususnya.

Saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada permasalahan melemahnya karakter nasional. Hal ini ditunjukkan dengan berbagai persoalan bangsa yang gejalanya mulai nampak perlahan-lahan semenjak beberapa dekade terakhir. Jika tidak segera diatasi persoalan ini dapat mengancam eksistensi dan keamanan bangsa Indonesia. Beberapa permasalahan akut yang sedang dihadapi bangsa Indonesia antara lain, lemahnya kepemimpinan nasional, lemahnya semangat juang (fighting spirit) generasi muda, tingginya tingkat korupsi dan krisis identitas. Dampak yang ditimbulkan dari permasalahan ini bermacam-macam, misalnya ancaman disintegrasi, lemahnya daya saing Indonesia di tingkat internasional, terpuruknya image Indonesia di mata dunia.

Berbagai persoalan bangsa itu membawa pertanyaan: bagaimanakah pendidikan di Indonesia diselenggrakan sehingga menghasilkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang secara umum belum siap bersaing di era liberalisasi? Peran pendidikan di Indonesia hanya parsial dengan penekanan pada pengembangan aspek kognitif sehingga hasil pendidikan tidak memiliki korelasi dengan sikap maupun perilaku peserta didik. Pendidikan dianggap tidak memberikan kontribusi signifikan pada pembentukan karakter bangsa sesuai dengan core values.

Pertanyaan mendasar yang dikemukakan dalam makalah ini adalah: bagaimanakah peran pendidikan dalam membentuk karakter nasional yang dapat dijadikan soft power sebagai modal untuk menghadapi persaingan di era kesejagatan (globalisasi)? Argumen yang dicoba dikemukanan di sini adalah, pendidikan merupakan elemen dasar yang harus dibangun, diperkuat dan diutamanakan jika bangsa Indonesia ingin menuju ke arah tersebut. Pencapaian survival of the fittest dalam era globalisasi dapat dicapai dengan menampilkan soft power sebagai modalitas.

Pendidikan dan Karakter Nasional

Apakah karakter nasional itu dan seperti apakah karakter nasional bangsa Indonesia? Karakter nasional adalah salah satu dari sembilan unsur kekuatan nasional tak kasat mata (intangible) suatu bangsa (Morgenthau, terj.,1990). Sebagai salah satu kekuatan nasional, karakter nasional harus dipelihara dan senantiasa direvitalisasi agar selalu bisa menjadi inspirasi, pengobar semangat dan mampu berfungsi sebagai human capital sebuah bangsa karena karakter nasional menentukan ketahanan nasional bangsa yang bersangkutan.

Secara definitif karakter nasional adalah kualitas psikologis yang dimiliki secara kolektif oleh sekelompok masyarakat. Istilah ini sering digunakan secara bergantian dengan nilai-nilai inti (core values), yaitu dapat dipercaya/amanah (trustworthiness), hormat (respect), tanggungjawab (responsibility), kejujuran (fairness), kasih sayang (caring), dan kewarganegaraan (citizenship) (oregonstate.edu/instruct/anth370/gloss.html).

Pendidikan seperti apa yang dikembangkan agar anak didik memiliki karakter bangsa yang membentuk elemen-elemen dalam core values? Apakah masalah yang dihadapi oleh otoritas pelaksana pendidikan di Indonesia? Terdapat sediktinya empat faktor utama yang memerlukan perhatian: faktor kurikulum, faktor dana, faktor kesiapan tenaga pendidik dan faktor lingkungan sekitar dan suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pendidikan. Keempat faktor ini terkait satu sama lain untuk dapat menghasilkan SDM dengan karakter nasional yang mampu bersaing di era global.

Pertama, masalah otoritas pendidikan yang memberi penekanan pada aspek kognitif yang berlebihan. Aspek ini merupakan aspek yang relatif paling mudah dilaksanakan dibandingkan dengan dua aspek lainnya, yaitu afektif dan psikomotorik. Akibatnya, peserta didik sebatas ‘tahu’ dan ‘mengenal’ materi pembelajaran tanpa memahami, apalagi menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Terdapat kendala dalam menerapkan aspek afektif dan psikomotorrik dalam sikap dan perilaku keseharian. Akibatnya, pendidikan terjebak dalam pola yang mekanistis. Bagaimana mungkin pola mekanistis mampu membentuk karakter bangsa yang memerlukan sentuhan manusiawi? Pendidikan nasional di Indonesia cenderung menghasilkan “manusia robot” yang tidak toleran dan apatis, dengan mereduksi makna manusia sebagai homo socius. Lembaga pendidikan PBB, UNESCO, menggariskan pentingnya tiga unsur dalam proses pendidikan, yaitu belajar untuk tahu (learn to know), belajar untuk berbuat (learn to do), belajar untuk menjadi diri sendiri (learn to be her/himself), belajar untuk hidup bersama (learn to live together) (Sahid, 2000).

Kedua, persoalan terbatasnya dana yang dialokasikan untuk pengembangan sektor pendidikan. Pemerintah RI hanya menyediakan sekitar 10% saja dari APBN untuk mengharapkan keberhasilan membentuk SDM yang berkualitas. Bandingkan dengan negara-negara tetangga terdekat seperti Singapura dan Malaysia yang menyediakan persentase besar dari anggaran belanja negara bagi penyelenggaraan pendidikan yang berkualitas. Sedikitnya dana pendidikan bisa menjadi penghambat bagi dilakukannya reorientasi kurikulum akibat perubahan yang terjadi di tingkat nasional maupun internasional. Reorientasi kurikulum, yang mencakup antara lain knowledge-based economy, HAM, demokratisasi, dan multikulturalisme (Azra, 2005) merupakan sesuatu yang tidak dapat dihindari. Dengan kata lain, sempitnya dana menyebabkan kurikulum nasional seolah-olah tidak mampu mengadaptasikan diri dengan perkembangan-perkembangan mutakhir yang memerlukan respon segera. Persoalan anggaran juga terkait dengan penyediaan prasarana pendidikan. Mempersiapkan mutu pendidikan yang berkualitas harus dibarengi dengan penyediaan sarana pendukungnya seperti alat peraga, laboratorium, internet, dsb. Jika dana pemerintah terbatas, perlu diupayakan membangun kemitraan dengan pihak non-pemerintah tanpa harus mengkompromikan kualitas, visi dan misi lembaga pendidikan terkait.

Ketiga, hal kesiapan tenaga pendidik untuk mempersiapkan tujuan yang ditargetkan. Tenaga pendidik merupakan ujung tombak bagi keberhasilan tujuan pendidikan. Mereka harus dipersiapkan sedemikian rupa agar mampu menyesuaikan diri dengan perubahan-perubahan yang terjadi. Paradigma baru pendidikan nasional menuntut tenaga pengajar secara terus menerus memperbaharui pengetahuan (refresh/up-date), bersikap terbuka terhadap hal-hal baru (open mind) dan bersikap bersedia membantu (helpful). Tenaga pengajar, terutama di pendidikan tingkat dasar, berperan tidak hanya sebagai pengalih (transfer) ilmu melainkan juga pembentuk karakter anak didik. Peran ini belum dilaksanakan secara maksimal oleh tenaga pengajar nasional terkait dengan proses seleksi dan pemenuhan kebutuhan dasar yang masih problematik.

Terakhir, diperlukan lingkungan sekitar dan suasana yang kondusif bagi penyelenggaraan pendidikan. Ketiga faktor terdahulu tidak berarti apapun jika faktor terakhir ini tidak mendukung. Diperlukan stabilitas nasional, dukungan keluarga, masyarakat, LSM maupun lembaga lain merupakan pilar-pilar pendukung bagi keberlangsungan iklim pendidikan yang produktif dan berdampak positif bagi terciptanya karakter bangsa peserta didik. Jika salah satu pilar terganggu maka seluruh proses pembelajaran pun terganggu.

Soft Power dan Globalisasi

Soft power[1] berarti bagaimana mendapatkan sesuatu yang diinginkan tanpa menggunakan kekerasan fisik atau paksaan uang. Soft power muncul dari daya tarik suatu bangsa yang bersumber dari kebudayaan, kearifan lokal, pemikiran-pemikiran cemerlang dan kreatif warganegaranya. Soft power merupakan elemen penting kekuatan nasional dan menjadi kian penting di masa kini dan mendatang.

Mengapa soft power penting di era kesejagatan? Argumen dasarnya adalah, hanya dengan memiliki soft power, Indonesia berhasil bertahan (survive) di tengah pertarungan kesejagatan yang tidak mungkin dihindari. Bagi Indonesia, disamping tidak memiliki kapasitas memadai untuk memiliki dan menggunakan, penggunaan hard power tidak lagi populer untuk mencapai tujuan nasional suatu negara. Indonesia harus mampu mengambil keuntungan dari setiap persaingan yang terjadi di era tersebut.

Salah satu ciri era kesejagatan adalah kompetisi sekaligus saling ketergantungan, yang dua hal ini memerlukan pengelolaan agar dapat memberi manfaat maksimal. Kondisi saling ketergantungan sengaja diciptakan sebagai paradigma manajemen modern yang memandang keberhasilan sebagai hasil kerja kelompok. Interdependensi dalam era kesejagatan menciptakan interaksi yang semakin meningkat dan intensif, yang darinya dapat melahirkan peluang-peluang baru yang harus dimanfaatkan agar globalisasi mampu memberi makna positif.

Hanya negara-negara yang memiliki karakter nasional kuat yang siap bersaing ditengah globalisasi. Tengoklah dua bangsa besar yang sering menjadi contoh masyarakat yang memiliki karakter nasional yang kuat, yakni China dan India. China yang dikenal sekarang jauh berbeda dengan China di masa lampau. Bermodalkan karakter nasional yang kuat seperti etos kerja keras, disiplin dan percaya diri, China menempatkan diri sebagai bangsa besar dan mampu bersaing dengan bangsa lain tanpa mengerahkan hard powernya. India juga tumbuh sebagai bangsa yang disegani karena mampu memobilisasi potensi bangsa untuk dapat memenuhi kebutuhan domestiknya sendiri. India dikenal sebagai “pencetak insinyur terbesar” di dunia dengan terus menerus berupaya melakukan revolusi ipteknya. Keberhasilan India dalam bidang teknologi merupakan salah satu kunci India untuk menguasai dunia. Tilik pula negara-negara Asia lain seperti Korea, Taiwan, Singapura yang dipandang berhasil menjadi raksasa-raksasa ekonomi baru, yang keberhasilan mereka tidak mungkin diraih jika mereka tak memiliki jati diri yang kuat.

Bandingkan dengan Indonesia yang sesama negara berkembang dengan kekayaan SDM dan SDA yang hampir sebanding, bahkan dalam hal SDA, kita memiliki lebih banyak. Namun keberhasilan suatu bangsa tidak dapat hanya bermodalkan SDM dan SDA tanpa disertai karakter nasional yang kuat. SDM yang banyak justru dapat menjadi jebakan suatu bangsa untuk bermalas-malasan dan menganggap kekayaan alam yang melimpah sebagai warisan, bukan sebuah tanggungjawab. Mentalitas yang memanjakan diri karena “warisan” inilah yang mengakibatkan sebuah bangsa fragile dalam mengahadapi krisis dan tidak siap bersaing, apalagi memenangkan persaingan, dengan pihak asing.

Kekuatan nasional seringkali muncul saat terdapat “musuh bersama” yang harus dihadapi. Jika pada masa revolusi kemerdekaan musuh bersama bangsa Indonesia adalah kaum penjajah, pada masa revolusi teknolgi seperti saat ini musuh bersama kita adalah kebodohan yang diperlukan upaya kuat untuk melawannya. Di tengah kuatnya arus globalisasi, China dan India adalah contoh negara yang gigih memerangi kebodohan tanpa kehilangan jati diri. Bahkan mempertahankan jati diri semakin penting maknanya di tengah kuatnya arus kesejagatan yang dalam beberapa hal diwarnai oleh ‘penyeragaman’ dalam beberapa aspek kehidupan. Dengan demikian, think globally, act locally menjadi prinsip yang sangat bemakna.

Bagaimanakah peranan perguruan tinggi dalam mengembangkan soft power?

Karakter nasional yang kuat diperlukan sebagai modal utama menciptakan soft power. Membentuk (kembali) karakter nasional bukanlah proses instan dan diperlukan tenggang waktu yang panjang untuk selanjutnya menjadikannya sebagai soft power. Diperlukan kerja keras, terus menerus dan memerlukan dukungan dan kesediaan semua aktor, baik negara maupun segenap lapisan masyarakat. Amerika, misalnya memerlukan sekitar dua abad (200 tahun) untuk menuju ke arah tersebut. Amerika dapat disebut sebagai salah satu negara yang paling banyak ‘mengekspor’ soft power, mulai dari ilmu dan teknologi, ide-ide, pemikiran dan ciptakarya baru, budaya pop, makanan dan minuman, sampai gaya hidup.

Secara lebih khusus saya ingin menggarisbawahi pentingnya lembaga pendidikan dalam membangun soft power yang dapat dijadikan modal bersaing di era globalisasi. Lembaga pendidikan formal maupun non-formal adalah tempat yang paling tepat untuk membangun insan unggul karena di tempat-tempat inilah ide-ide disampaikan, kecerdasan dipertajam, kepekaan diasah, dan ketrampilan diajarkan. Lembaga pendidikan dasar merupakan ujung tombak pencapaian tujuan tersebut karena pada tempat inilah anak didik difasilitasi untuk menerima proses belajar yang mengarahkan mereka kepada pembentukan karakter nasional.

Lembaga pendidikan tinggi pun berperan sebagai institusi yang melanjutkan upaya-upaya yang dasar-dasarnya telah diletakkan di pendidikan dasar. Lembaga pendidikan tinggi memiliki peran sebagai agen perubahan yang dapat memberi kemaslahatan bagi rakyat banyak. Berdasarkan misi yang diembannya tersebut, lembaga pendidikan selayaknya mengembangkan pendekatan dan/ sistem pendidikan yang humanistik yang “menjadikan peserta didik sebagai subyek yang mengikuti learning process yang bebas dan kreatif…” (Sujana, et. al, 2007: 6) Pendidikan tinggi diharapkan berperan sebagai pencetak para intelektual yang humanis, yang siap bersaing dan mampu mensejajarkan Indonesia dengan bangsa yang bermartabat lainnya.

Joseph S. Nye (2003) berpendapat bahwa perguruan tinggi memiliki peranan penting dalam menciptakan soft power. Para pemimpin perguruan tinggi memiliki peranan kuat untuk membangun saling pengertian yang lebih baik antar warga negara dunia. Dengan demikian, perguruan tinggi yang kerap dianggap sebagai agen perubahan dan pusat pemikiran selayaknya merupakan lembaga yang secara aktif mempromosikan peran sebagai fasilitator yang menciptakan soft power.

Secara umum, pendidikan di semua jenjang harus mampu berperan dan mempersiapkan peserta didik dalam menghadapi era kesejagatan. Secara lebih khusus, peranan perguruan tinggi dalam mengembangkan soft power dapat dikategorikan dalam dua hal: pertama, sebagai pencetak atau penghasil para intelektual yang memiliki berbagai soft skills yang dapat dikembangkan sebagai soft power (fungsi ini disebut fungsi produksi); kedua, lembaga pendidikan sebagai subyek sekaligus role model bagi pelaksana nilai-nilai soft power (fungsi ini disebut fungsi figuratif).

Peran pertama (sebagai fungsi produksi) dapat dilakukan dengan cara menciptakan proses belajar mengajar yang diarahkan pada dihasilkannya tenaga intelektual yang memiliki daya nalar tajam, terampil dalam bidang ilmunya, mempunyai kepekaan sosial yang tinggi dan mampu memberi sumbangan positif pada sekelilingnya. Hal ini dapat dicapai apabila didukung oleh empat faktor seperti tersebut di atas, yaitu tersedianya kurikulum yang baik dan mendukung pencapaian tujuan, dana yang memadai, tenaga pendidik yang berkualitas, dan lingkungan yang kondusif. Perguruan tinggi-perguruan tinggi terkemuka di dunia yang mendudukkan diri sebagai centre of excellence, selalu berupaya menjalankan fungsi ini secara maksimal.

Peran kedua (sebagai fungsi figuratif) dlaksanakan oleh pergutruan tinggi yang dapat menjadikan dirinya sebagai role model bagi pengembangan soft power. Tujuan ini dapat dilaksanakan, misalnya dengan cara meningkatkan program pertukaran pelajar dengan bangsa yang berkultur berbeda, dan dengan meningkatkan jumlah mahasiswa maupun tetamu intelektual mancanegara. Program ini akan menyebabkan tumbuhnya saling pengertian di antara para civitas academica. Terdapat kecenderungan positif di Indonesia dengan dilaksanakannya program ini di berbagai perguruan tinggi. Banyak universitas mengirimkan dan menerima pelajar asing melalui berbagai program dan sponsor. Jika program ini dikelola dengan baik maka program ini secara efektif dapat sebagai sarana penyebar soft power.

Jika dua peran ini dapat dilaksanakan dengan baik maka perguruan tinggi telah melakukan fungsinya sebagai penyebar soft power. Perguruan tinggi yang demikianlah yang mampu bersaing di era globalisasi, yang dalam konteks ini, harus disikapi secara positif. Lebih menarik lagi jika dikaji lebih jauh mengenai salah satu dimensi globalisasi yang disebut dengan liberalisasi/pasar bebas, yang tidak dapat dihindarkan, juga menyentuh dunia pendidikan tinggi. Perguruan tinggi yang berkualitaslah yang siap bersanig di era pasar bebas. Sudah siapkan lembaga pendidikan tinggi Indonesia menyambut era pasar bebas?

Penutup

Saat ini bangsa Indonesia sedang menghadapi masalah krisis karakter nasional. Jika tidak segera diatasi bangsa Indonesia akan menjadi bangsa yang tidak memiliki jati diri. Salah satu cara untuk merevitalisasi krisis karakter nasional adalah melalui pendidikan. Era kesejagatan yang ditandai dengan kerjasama dan kompetisi di berbagai bidang smakin memperkuat pentingnya peran pendidikan.

Jika perhatian lebih serius diberikan untuk mengembangkan pendidikan, maka bangsa Indonesia bisa mensejajarkan diri dengan bangsa-bangsa lain yang terhormat. Jika demikian tidak sulit bagi bangsa Indonesia untuk meraih keuntungan dalam persaingan global karena bangsa Indonesia telah memilik soft power, sebua produk dari proses yang terus menerus dibangun dan disempurnakan. Perguruan tinggi memiliki peranan vital dalam mengembangkan kekuatan nasional. Karenanya, perguruan tinggi harus mampu berfungsi sebagai role model sekaligus role creator dalam proses pembentukan karakter nasional. Perguruan tinggi harus mampu menyediakan diri sebagai tempat menempa generasi mendatang yang berkarakter nasional kuat, yang siap menghadapi segala macam tantangan yang menghadang.



[1] Istilah soft power pertama kali diperkenalkan oleh Joseph S. Nye, akademisi dari AS.


== == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == == ==
Online Radio
IP
|*|:::...Thank for Your Visiting...:::|*|:::...Gracias por Su Visita...:::|*|:::...Danke für Ihren Besuch...:::|*|:::...Dank voor Uw Bezoek...:::|*|:::...Merci pour votre visite...:::|*|:::...Grazie per la Vostra Visita...:::|*|:::...Agradeço a Sua Visita...:::|*|:::...Için Teşekkür Senin Konuk...:::|*|:::...شكرا لجهودكم الزائرين...:::|*|:::...Спасибо за Ваш визит...:::|*|:::...Подякуйте за ваш відвідуючий...:::|*|:::...Terima Kasih Atas Kunjungan Anda...:::|*|:::...|* [Copyright © 2008 Baiq Wardhani on http://baiq-wardhani.blogspot.com]*|...:::|*|
= = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = = =

Copyright © 2008 Global and Strategic . All rights reserved.

The Modification of This Blog was Designed by: [ M. Edy Sentosa Jk. ] On the other Web of [ The Global Generations ] | [N*K*A]